Etika Bisnis Dan Pendidikan 
Dalam sistem perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan untuk 
mencapai tujuan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin, sejalan 
dengan prinsip efisiensi. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku 
bisnis kerap  menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya
 melanggar etika dalam berbisnis atau tidak.
Hal ini terjadi 
akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata 
sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis, meski 
perusahaan-perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis 
 yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam organisasi. Penerapan kaidah
 good corporate governace di perusahaan  swasta, BUMN, dan instansi 
pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, 
terutama dalam pelaporan kinerja keuangan perusahaan.
Prinsip keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan bagi 
perusahaan terdaftar di BEJ, misalnya seringkali dilanggar dan jelas 
merugikan para pemangku kepentingan (stakeholders),terutama pemegang 
saham dan masyarakat luas lainnya.Berbagai kasus insider trading dan 
banyaknya perusahaan publik yang di-suspend perdagangan sahamnya oleh  
otoritas bursa menunjukkan contoh praktik buruk dalam berbisnis. Belum 
lagi masalah kerusakan lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi sumber
 daya alam dengan alasan mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa 
memperhitungkan  daya dukung ekosistem lingkungan.
Bisa 
dibayangkan, dampak nyata akibat ketidakpedulian pelaku bisnis terhadap 
etika berbisnis adalah budaya korupsi 
yang semakin serius dan 
merusak tatanan sosial budaya masyarakat. Jika ini berlanjut, bagaimana 
mungkin investor 
asing tertarik menanamkan modalnya di negeri kita? 
Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa kesemua ini 
terjadi?
 Apakah para pengusaha tersebut tidak mendapatkan pembelajaran etika 
bisnis di bangku kuliah? Apa yang salah 
dengan pendidikan kita, 
karena seharusnya lembaga pendidikan berfungsi sebagai morale force 
dalam menegakkan nilai-
nilai kebenaran dalam berbisnis?
Bagaimana
 sebenarnya etika bisnis diajarkan di sekolah—kalaupun ada—dan di 
perguruan tinggi? Etika bisnis 
merupakan mata kuliah yang diajarkan 
di lingkungan pendidikan tinggi yang menawarkan program pendidikan 
bisnis dan 
manajemen. Beberapa kendala sering dihadapi dalam 
menumbuhkembangkan etika bisnis di dunia pendidikan. 
Pertama, 
kekeliruan persepsi masyarakat bahwa etika bisnis hanya perlu diajarkan 
kepada mahasiswa program 
manajemen dan bisnis karena pendidikan 
model ini mencetak lulusan sebagai mencetak pengusaha. Persepsi demikian
 
tentu tidak tepat. Lulusan dari jurusan/program studi nonbisnis 
yang mungkin diarahkan untuk menjadi pegawai tentu 
harus memahami 
etika bisnis. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam 
melaksanakan kegiatan usaha, 
termasuk dalam berinteraksi dengan 
stakeholders, termasuk tentunya karyawan.
Etika bisnis sebaik apa
 pun yang dicanangkan perusahaan dan dituangkan dalam pedoman perilaku, 
tidak akan berjalan 
tanpa kepatuhan karyawan dalam menaati 
norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Kedua, 
pada
 program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis diajarkan sebagai
 mata kuliah tersendiri dan tidak 
terintegrasi dengan pembelajaran 
pada mata kuliah lain. Perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai subjek 
didik harus 
mendapatkan pembelajaran secara komprehensif. Integrasi 
antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses 
pembelajaran
 harus diutamakan. Sehingga masuk akal apabila etika bisnis—aspek 
afektif/ sikap dalam hal ini—
disisipkan di berbagai mata kuliah yang
 ditawarkan. Ketiga, metode pengajaran dan pembelajaran pada mata kuliah
 ini 
cenderung monoton.Pengajaran lebih banyak menggunakan metode 
ceramah langsung.
Kalaupun disertai penggunaan studi kasus, 
sayangnya tanpa disertai kejelasan pemecahan masalah dari kasus-kasus 
yang
 dibahas. Hal ini disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering 
menyangkut kaidah dan norma yang 
cenderung abstrak dengan standar 
acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam menilai etis atau
 tidaknya 
suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan 
sesuatu obat dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi 
pemakaian?
 Atau membahas moral hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas 
Enron di Amerika Serikat. 
Keempat, etika bisnis tidak terdapat dalam
 kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
Nilainilai moral dan 
etika dalam berperilaku bisnis akan lebih efektif diajarkan pada saat 
usia emas (golden age) anak, 
yaitu usia 4–6 tahun. Karena itu, 
pengajarannya harus bersifat tematik. Pada mata pelajaran agama, 
misalnya, guru bisa 
mengajarkan etika bisnis dengan memberi contoh 
bagaimana Nabi Muhammad SAW berdagang dengan tidak 
mengambil 
keuntungan setinggi langit. Kelima, orangtua beranggapan bahwa sesuatu 
yang tidak mungkin mengajarkan 
anak di rumah tentang etika bisnis 
karena mereka bukan pengusaha. Pandangan sempit ini dilandasi pemahaman 
bahwa
 etika bisnis adalah urusan pengusaha.
Padahal, sebenarnya 
penegakan etika bisnis juga menjadi tanggung jawab kita sebagai 
konsumen. Orangtua dapat 
mengajarkan etika bisnis di lingkungan 
keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam menghargai hak
 
atas kekayaan intelektual (HaKI), misalnya dengan tidak membelikan 
mereka VCD, game software, dan produk bajakan 
lain dengan alasan 
yang penting murah. Keenam, pendidik belum berperan sebagai model 
panutan dalam pengajaran 
etika bisnis. Misalnya masih sering kita 
mendapati fenomena orangtua siswa memberi hadiah kepada gurunya pada 
saat 
kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa terima kasih dan 
ikhlas.
Pendidik menerima hadiah tersebut dengan senang hati dan 
dengan sengaja menunjukkan hadiah pemberian orangtua 
siswa tersebut 
kepada teman sejawatnya dengan memuji-muji nilai atau besaran hadiah 
tersebut. Tidakkah kita sadari, 
kondisi seperti ini akan memberikan 
kesan mendalam pada anak kita? Mengurangi praktik pelanggaran etika 
dalam 
berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua. Sebagai 
pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi 
peningkatan 
peran dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan
 pemberdayaan kualitas hidup 
masyarakat melalui program corporate 
social responsibility (CSR).
Pada saat kita berperan sebagai 
konsumen, seyogianya memahami betul hak dan kewajiban dalam menghargai 
karya 
orang lain. Orangtua harus menjadi model panutan dengan 
memberikan contoh baik tentang perilaku berbisnis kepada 
anak 
sehingga kelak mereka akan menjadi pekerja atau pengusaha yang mengerti 
betul arti penting etika bisnis. 
Pemerintah sebagai regulator pasar 
turut berperan mengawasi praktik negatif para pelaku ekonomi. Sudah 
saatnya 
pemerintah mempertimbangkan etika bisnis termuat dalam 
kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Peran aktif para 
pelaku 
ekonomi ini pada akhirnya akan menjadikan dunia bisnis di Tanah Air 
surga bagi investor asing.
(*) Drs. Dedi Purwana E.S., M.Bus. 
Direktur Eksekutif the Indonesian Council on Economic Education (ICEE)  
 
Sumber: 
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/etika-bisnis-dan-pendidikan.html