Kasus Susu Formula dan Etika Bisnis Produsennya
Kesehatan sudah merilis daftar merek susu formula yang bebas dari Enterobacter sakazakii itu. Dan, susu formula si kecil masuk daftar susu yang aman. Pengumuman tadi masih meresahkan masyarakat. Sebagian masyarakat menuntut agar merek-merek susu formula yang tercemar segera diumumkan juga kepada publik.
Seperti diberitakan di banyak media massa, kasus ini
bermula ketika para peneliti Institut Pertanian Bogor yang menemukan
kontaminasi bakteri susu ini sebesar 22,73 persen dari 22 sampel susu
formula yang beredar dari tahun 2003 sampai 2006. Persoalan lebih
lanjut, baik pemerintah maupun IPB, tidak mau mengumumkan merek-merek
susu yang tercemar.
Ada yang berpendapat bahwa pengumuman merek susu
tercemar ini hanya akan memunculkan kekacauan. Sementara, banyak yang
menuntut pemerintah segera mengumumkan merek susu tercemar. Pasalnya,
ini menyangkut hidup mati dan masa depan anak-anak. Di tengah sikap
pemerintah yang masih menunda pengumuman, muncul info hoax di jaringan
sosial media yang isinya berisi tentang merek-merek susu tercemar. Info
tersebut dibantah oleh BPOM dan Asosiasi Perusahaan Makanan Bayi merasa
prihatin dengan info hoax tersebut. Menurut saya, persoalan ini selesai,
kalau pemerintah segera mengumumkan merek-merek susu yang tercemar.
Mana yang lebih bermartabat, menimbulkan kekacauan yang belum tentu
jelas itu atau membunuh bayi-bayi secara pelan-pelan. Negara tahu, tapi
tidak mengumumkan, bagi saya adalah sebuah kejahatan.
Dalam dunia marketing, seandainya pemilik merek tahu
bahwa susu formulanya tercemar dan tidak menarik produknya, hal
sesungguhnya merupakan kejahatan bisnis. Apalagi tahu kalau Enterobacter
sakazakii ini berbahaya bagi orang tubuh bayi, seperti pembuluh darah,
selaput otak, dan usus. Secara sederhananya, boleh dikatakan berbisnis
dan mengeruk keuntungan dengan menabur bahaya kepada para bayi. Secara
etika, praktik ini tidak bisa dibenarkan. Adalah benar bila konsumen
berteriak menuntut agar pemerintah—dalam hal ini Departemen
Kesehatan—transparan soal ini.
Kalau dilihat dari kacamata Marketing dewasa ini,
pemasar yang tetap memasarkan produk yang membahayakan pelanggannya
melanggar nilai-nilai bisnis, yakni mencintai pelanggan. Sementara, di
era sekarang, orang tidak gampang lagi menyembunyikan kebohongan. Ketika
produk ketahuan belangnya, pelanggan akan meninggalkannya dengan
serangkaian caci maki.
Seharusnya
diumumkan saja
Krisis yang menimpa sebuah merek adalah hal lumrah. Tidak ada yang
sempurna di muka bumi ini. Merek yang teridentifikasi secara ilmiah oleh
bakteri ini seharusnya rendah hati mengakui dan kemudian mengumumkan
secara resmi kepada publik—termasuk permohonan maaf.
Apa ini akhir dari sebuah merek? Tentu tidak.
Langkah transparan kepada konsumen macam ini layak dipuji karena dengan
demikian merek masih mempunyai niat baik untuk memberi yang terbaik bagi
konsumen. Langkah ini juga menjadi modal awal membangun kembali
kepercayaan dan kredibilitas merek di mata konsumen. Dalam dunia bisnis,
ketika merek mengalami krisis, ada tahapan yang dinamakan brand
recovery—proses pemulihan reputasi merek.
Prosesnya memang tidak gampang. Butuh keberanian dan kepercayaan
diri pemilik merek untuk mengkomunikasikan apa adanya kepada publik.
Tentunya, proses ini juga didampingi oleh BPOM maupun DepKes—lembaga
yang menjadi jaminan kepercayaan publik atas sebuah merek. Produk
sementara ditarik dari peredaran. Langkah berikutnya, usai produk
diperbaiki dan steril dari bakteri, produk bisa dirilis lagi—entah
dengan merek lama atau yang sudah mengalami rebranding—ke publik dengan
tetap ada pernyataan resmi dari BPOM maupun DepKes tentang kemanan
produk tersebut.
Banyak kasus brand recovery ini. Dulu, ajinomoto
maupun susu Dancow pernah terkena isu lemak babi yang dianggap haram
itu. Namun, kedua merek ini, berhasil melalui proses brand recovery ini.
Sekarang, kedua merek tersebut tetap diburu oleh masyarakat dan menjadi
dua merek idola di pasaran.
Kesimpulannya, tidak usah takut—entah takut muncul
kekacauan atau tidak—untuk mengumumkan sesuatu yang sifatnya demi
kepentingan dan hidup banyak orang. Mau tidak mau, bisnis tetap harus
berjalan di koridor nilai-nilai. Kalau tidak, bisnis ini tidak bakal
berkelanjutan.
So, umumkan segera atau produk anda tersandera kasus
yang tidak rampung juntrungannnya tersebut.
penulis:
sigit kurniawan (marketer) | editor: soegiyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar